Siapa Untung dan Siapa Buntung??

 

Dari Aktivitas Penambangan Pasir di Desa Lengkok Lendang// Sub

 


Beberapa kali melewati perbukitan yang dulunya sama tinggi antara kiri dan kanannya, terlihat mobil offroad terparkir di lokasi tambang yang sudah datar tersebut. Beberapa kali juga seorang warga negara asing kulit putih terlihat di sana meninjau lokasi tersebut. Sepertinya ia pemodal lokasi tambang tersebut. Perempuan yang bersamanya tampak berjilbab juga dan seorang WNI. Sementara yang lainnya tampak biasa, seperti orang Lombok kebanyakan. Tambang pasir tersebut setiap harinya tak kurang dari 150 Truk keluar masuk mengangkut pasir untuk diantarkan ke pusat-pusat pembangunan. Memang pasir yang dikeruk dari tambang tersebut bukan pasir halus, tetapi masih ada bebatuan kerikil juga. Untuk itulah beberapa warga di dusun Telotok yang berbatasan dengan dusun Lengkok Lendang menyetok pasir kasar tersebut dari lokasi tambang, lalu diayak secara manual menggunakan kasa/kawat ayakan, hingga tersisa pasir halus.

Memang kebutuhan pasir halus siap pakai untuk memasang tembok bata, ataupun untuk lantai cukup tinggi jika dibandingkan pasir kasar untuk cor-coran. Pasir halus yang diayak sendiri oleh warga meski jaraknya cukup dekat juga dengan lokasi tambang tempatnya diambil, harga per-truknya pun sama dengan yang diantarkan ke lokasi yang lebih jauh misalnya. Warga dusun Lengkok Lendang ataupun Telotok yang membeli pasir kasar dari lokasi tambang harganya pun sama dengan yang membeli lebih jauh rumahnya. Yang dihitung ongkos mobil yang mengantar, perkara agak lebih jauhnya bukan menjadi hal yang dipermasalahkan. Supir lebih untung jika mengantarkan lebih dekat dengan lokasi tambang, yang artinya bisa beberapa kali akan mengangkut.

Pengelola tambang juga untung dengan kali banyak dan kali sering Truk-Truk keluar masuk. Sementara warga yang membuka usaha ayakan (bahasa Sasak menyebutnya ngerok) tak cukup banyak jika dibandingkan dengan pengelola tambang, supir atau pemilik Truk, ataupun pemodal tambang tersebut. Jika dirincikan kira-kira seperti ini, mereka yang membuka usaha ayakan pasir membeli pasir kasar dari lokasi tambang seharga Rp. 380 ribu per Truk. Dengan rincian 280 ribu harga pasirnya, 100 ribu ongkos Truk. Dari satu Dump Truk pasir kasar tersebut setelah diayak (di-erok) bisa menjadi dua Truk isian untuk pasir halus.

Isian pasir kasar dari lokasi tambang sampai penuh baknya bahkan dibuat menggunung. Sementara isian pasir halus lebih sedikit, sekitar satu baris dinding Truk. Satu Truk pasir kasar setelah diayak bisa dijual menjadi 2 truk sampai 3 truk pasir halusnya. Jika diakumulasi secara matematika ekonomi artinya keuntungan yang didapatkan pengusaha pasir ayakan sekitar 600 ribu sampai 750 ribu per 1 Truk pasir kasar. Semua akan berpikir ini akan menjadi usaha yang cukup menjanjikan, jika lancar dan banyak yang membangun. Tak heran beberapa lahan kosong yang semula tempat gembala kambing diubah menjadi lokasi untuk mengayak pasir.

Beberapa pemodal bahkan menyewa lahan di beberapa titik untuk usaha tersebut. Mereka pun membayar buruh untuk mengayak pasir dengan hitungan per truk. Perputaran uang di bisnis pasir ini meningkat ketika gempa mengguncang Lombok di tahun 2018 menyebabkan banyak rumah yang roboh. Stok-stok pasir di semua lokasi tambang sudah dibooking oleh supplier-supplier penyalur bantuan bahan bangunan karena bantuannya berupa material bangunan. Jadilah pasir halus menjadi incaran para supplier tersebut. Bahkan mereka kadang membayar di awal untuk sekian puluh Truk pasir halus, supaya tidak khawatir akan kekurangan stok. Warga yang halamannya cukup luas juga mulai membuka usaha ayakan pasir untuk memenuhi permintaan supplier. Tak hanya menyuplai untuk wilayah terdampak gempa di Lombok Timur yang dekat dengan desa Tembeng Putik, suplai pasir itu juga dibawa sampai ke ujung Lombok Timur seperti ke Sambelia, Sembalun, bahkan sampai Ke Kokok Puteq yang berbatasan dengan Bayan Lombok Utara.

Banyak yang menganggap bahwa adanya tambang juga cukup menguntungkan banyak orang, salah satunya banyak yang membuka usaha ayakan, banyak pekerja terserap sebagai buruh pengayak, ataupun juga pe-ngerit setiap ada Truk yang datang membeli pasir halus. Akan tetapi yang semakin diuntungkan sebenarnya pemodal-pemodal besar, pemilik angkutan Truk, serta pemodal dari pembuka tambang tersebut. Sementara warga yang menjadi buruh tak seberapa didapat setelah dibagi beberapa orang yang me-ngayak, atau bagi para pe-ngerit akan dibagi sejumlah orang yang ngerit.

Sementara pemilik mobil/supir di setiap Truk yang diangkut sudah mendapatkan 100 ribu untuk ongkos angkutan. Pe-ngerit (tukang sekop) yang mengisi bak Truk hanya akan diberikan ongkos buruh, itu pun tak cukup untuk membeli setengah bungkus rokok karena sudah dibagi-bagi sejumlah pe-ngerit. Begitupun pemilik lokasi, mereka bisa menyetok sekian Truk pasir kasar lalu diayak oleh buruh. Ketika laku, akan dibagi juga dengan buruh pe-ngayak, dan sisanya tak cukup banyak jika intensitas pembelian tak menentu, tidak seperti ketika supplier sudah mematok berapa Truk yang dibutuhkan.

Usaha ayakan pasir ini dengan kondisi sekarang juga tak menentu tak seperti ketika pembangunan pasca gempa. Sirkulasi uang memang bisa dikatakan cukup besar beredar di usaha pasir tersebut. Tetapi jika ditelisik dari kacamata Ekonomi Politik, siapa yang paling diuntungkan atau yang menempati piramida teratas dari jejaring usaha tersebut. Yang jelas pemodal besar di usaha tambang yang paling banyak mendapatkan untung. hitungan sampai ratusan Truk yang masuk setiap harinya cukup besar peredaran uang.

Akan tetapi sejauh mana peredaran uang yang cukup besar tersebut berdampak juga pada peningkatan ekonomi warga. Siapa yang lebih banyak diuntungkan dengan adanya tambang pasir tersebut, sudah sewajarnya menimbulkan kecemburuan karena tak banyak warga yang juga bisa mengais untung di lokasi tersebut. Bahkan menjadi sebuah tragedi dengan adanya korban jiwa di lokasi tambang.

Setiap sore anak-anak dari dusun Lengkok Tengaq yang berada di bawah perbukitan biasanya mereka naik bermain bola di lokasi tambang yang sudah datar. Suatu ketika pada siang hari yang mendung, mereka bergerombol naik untuk bermain bola, karena merasa tidak cukup menyengat dan mereka berpikir pasti akan turun hujan yang membuat permainan akan semakin seru. Benar pula ternyata turun hujan setelah beberapa lama mereka bermain. Beberapa orang anak yang tidak tahan dengan derasnya hujan akhirnya memutuskan untuk berteduh di bawah tebing-tebing di lokasi tambang yang membentuk seperti payung karena bagian bawahnya sudah dikeruk.

Nahas terjadi, tebing bagian atas runtuh dan menimpa anak-anak yang berteduh. Beberapa sempat melarikan diri secepatnya karena teriakan-teriakan kawan-kawannya mengingatkan. Namun dua orang menjadi korban tertimbun. Kedua anak dari dusun Lengkok Tengaq tersebut meninggal dunia di lokasi setelah dilakukan penggalian runtuhan tanah tebing tersebut. Sejak itu banyak mitos yang kemudian beredar bahwa lokasi tambang tersebut mencari tumbal karena jin-jin yang semula berumah di tebing-tebing tersebut merasa terganggu dengan kehadiran mesin-mesin pengeruk dan Truk-truk yang lalu lalang.

Beberapa kejadian lainnya yaitu Truk yang sering mundur tak bisa menanjak di tanjakan dusun Lengkok Lendang. Bahkan ada yang sampai terbalik karena kelebihan muatan. Tetapi masyarakat mengaitkannya juga dengan mitos bahwa jin-jin yang berada di lokasi tambang merasa terganggu lingkungan mereka. Lokasi tambang tersebut sempat berhenti beberapa hari karena orang yang mengoperasikan Excavator sedang sakit. Saat itulah beralih ke tenaga manual, warga ngerit untuk menyekop pasir ke bak-bak Truk. Cukup lama sakit, akhirnya dicari pengganti, orang lain yang juga bisa mengoperasikan Excavator tersebut.

Setelah beberapa lama si pengganti itupun sakit juga hingga membuat excavator juga tak beroperasi. Masyarakat kembali mengait-ngaitkan kejadian tersebut sebagai campur tangan hal mistis. Sementara para pengerit tak peduli hal itu. Mereka menyekop pasir ke bak-bak truk sebanyaknya karena itu hal yang bisa diandalkan untuk asap dapur tetap mengepul.

Konteks tambang siapa yang lebih banyak diuntungkan adalah hal yang mesti dicarikan solusi supaya masyarakat pada umumnya juga minimal dianggap dapat menikmati hasil dari tambang tersebut. Siapa yang buntung dengan adanya lokasi tambang adalah mereka yang hanya kebagian debu dan bisingnya mesin-mesin penyemprot ataupun mesin excavator yang setiap hari beroperasi, bahkan hingga malam hari.

Solusi dari ketimpangan yang ditimbulkan dari lokasi tambang tersebut, setidaknya pemilik modal juga peka dengan kondisi masyarakat. Jika tidak bisa memberi satu per satu masyarakat miskin yang membutuhkan, mestinya minimal mereka menyalurkan sedikit keuntungan tersebut ke panti asuhan atau untuk pembangunan masjid.

Belum ada Komentar untuk "Siapa Untung dan Siapa Buntung??"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel