Nasionalisme dan Negara Gagal


Penulis ; Ahmad Yani (Alumni Mahasiswa Ekonomi Universitas Mataram )


 Genap 66 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Kemerdekaan yang ditebus dengan darah, air mata, harta dan jiwa. Sebuah perjuangan yang tanpa Pamrih, tanpa pikir panjang, dan tanpa tawar-menawar dengan penjajah, sehingga menorehkan tinta emas keteladanan dalam kehidupan Republik Indonesia. 

 Menciptakan Perubahan memerlukan ruh dan semangat yang menjadi landasan utamanya. Nasionalisme Indonesia pada Intinya adalah Ruh dan semangat untuk yang menggerakkan untuk bangkit melawan penindasan ekonomi, Politik dan sosial budaya, pertahanan dan keamanan dari cengkeraman penguasa kolonial. 


Hal tersebut tidak terlepas dari sebuah keinginan yang besar dan kuat untuk mendirikan sebuah Indonesia merdeka. Artinya, Indonesia yang berdaulat secara Politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Ruh dan semangat itu terus menggumpal hingga titik klimaksnya terwujudnya jembatan emas kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. 

 Kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan dan direbut itu, hanyalah satu tahapan awal dari cita-cita dan tujuan perjuangan, yakni untuk mewujudkan masyrakat yang adil, makmur dan sejahtera. Tapi amat disayangkan, Cita-cita dan tujuan mulia itu masih jauh panggang dari api. 

Lihatlah kondisi bangsa indonesia beberapa tahun terakhir yang semakin menunjukkan kegalauan, kecemasan dan ketakutan rakyat dalam menjalani kehidupannya sebagai warga negara ditengah kesulitan hidup yang semakin mendera, kemiskinan yang meningkat, Pengangguran yang tidak teratasi, Korupsi yang mewabah disemua lini aparatur negara, Dekadensi moral para penguasa, kesenjangan sosial yang melebar, tidak adanya perlindungan dari negara terhadap warganya dan hilangnya keadilan hukum. 


 Menurut Intelektual Muda Indonesia Prof. Dr. Anies Baswedan : Kegalauan, kecemasan dan ketakutan bukan bersumber dari Rakyat, melainkan bersumber dari para pengurus negara yang seakan berjalan tanpa target. Deretan agenda penting dan urgen hanya jadi wacana, tetapi tidak kunjung jadi realitas. Pengurus Republik sukses membangun kekasalan kolektif dan menanamkan bibit pesimisme dikalangan rakyat” Ungkap Rektor Universitas Paramadina jakarta tersebut. 


 Kekesalan kolektif dan bibit Pesimisme yang semakin tumbuh subur dikalangan rakyat karena mereka dipertontonkan drama kebobrokan praktik korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bagaimana rakyat pula disuguhkan secara terbuka Konflik antar elit Politik, sepertinya tidak ada lagi keteladanan dan kebijaksanaan yang ditunjukkan oleh Para pengurus Republik. Serta bagaimana rasa keadilan masyarakat dalam penegakkan hukum yang tercabit-cabit, dimana hukum menjadi bertaring ketika menghadapi rakyat kecil yang tidak memiliki kuasa dan modal, tetapi hukum akan menjadi lumpuh seketika tak kala menghadapi mereka yang memiliki kuasa dan modal. 

 Berbagai persoalan yang mendera bangsa ini, telah menpersyaratkan betapa bangsa ini semakin mendekati sebagai Negara Gagal (Failed State). Penjajahan Baru Kehidupan Rakyat semakin kian terpuruk, tak kala kebijakan Ekonomi yang diadopsi Pengurus Republik ini mengadopsi berbagai kebijakan yang dipersyaratkan oleh Badan keuangan Internasional, Korporat Asing, dan Perusahaan Multinasional Asing yang dengan leluasa merampok kekayaan alam bangsa ini, merusak ekosistem, menjajah buruh-buruh di negara ini dengan harga yang sangat rendah. Secara Formal bangsa ini telah memperoleh Kemerdekaannya 66 tahun yang silam. 


Tetapi secara Esensi kata Kemerdekaan yang selalu di peringati setiap tahunnya itu mengandung sebuah pertanyaan, Apakah ya bangsa ini telah merdeka? Apakah ya bangsa ini telah mandiri dalam menentukkan jalan hidupnya?. Kesemuanya terjawab, Mana kala kita saksikan bagaimana terkurasnya sumberdaya alam yang dimiliki oleh bangsa ini secara terus menurus dengan memberikan manfaat yang kecil untuk rakyat, Berbagai Kontrak Karya Pertambangan yang sangat merugikan kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, Ketergantungan Pangan dari Impor, dan Ketergantungan utang luar negeri yang terus menggila dipraktekkan pengurus repubik ini – sehingga dampaknya perekonomian nasional akan selalu keteteran, karena dananya akan selalu tersedot untuk membayar pokok utang dan bunga utang luar negeri yang tingginya sangat signifikant. 


 Ini membuktikan betapa pengurus Republik saat ini telah tunduk dan mengabdi kepada kepentingan Asing dengan menganut ideologi “ Neoliberalisme “ dan merelakan diri menjadi komperador Neoimperalisme – Sebuah Pola penjajahan baru yang tidak lagi menggunakan kekerasan fisik, tetapi lebih menitikberatkan pada hilangnya kemandirian sebuah bangsa dalam menentukkkan kebijakan Ekonomi, Politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.


 Kita bisa menyaksikan dengan telanjang bulat di Negeri ini – Kebijakan liberalisasi ekonomi yang dipraktekkan Pengurus Republik ini, menjadi pintu gerbang bagi kepentingan asing dengan sangat leluasa untuk masuk ke segala penjuru, tanpa ada rintangan sama sekali. Dari hulu ke hilir, dari sektor pertambangan, perminyakan, perkebunan, perikanan, pelabuhan, perbankan, telekomunikasi, perdagangan – Hampir tidak ada sejengkal tanah pun yang tidak dikuasai oleh kepentingan Asing dan korporat-korporatnya. 


 Haluan liberal yang dipraktekkan sesuai dengan keinginan Badan keuangan Internasional, Korporat-korporat Asing dan perusahaan Multinasional yang sedang dijalankan Pengurus Republik Ini, terbukti tidak membawa bangsa ini pada tujuan kesejahteraan sebagaimana menjadi cita-cita dan tujuan perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Dalam sistem liberal, baik dalam Ekonomi dan Politik, kekuatan lebih banyak ditentukkan oleh Individu Pemilik modal. Hukum Rimba seolah menemukkan Jati dirinya – Siapa yang kuat maka dialah yang menang, dan yang lemah maka dialah yang pasti kalah, tersingkirkan dan terpinggirkan. Terjadi kesenjangan Ekonomi yang sangat tajam dalam masyrakat , dimana segalanya ditentukkan oleh kekuatan pasar. 


Sehingga tidak mengherankan kemudian hasil-hasil pembangunan yang dilakukan selama ini hanya dinikmati segelintir mereka yang dekat dengan elit kekuasaan dan mereka yang menjadi komperador kepentingan Asing serta Antek-anteknya. Presiden Pertama Republik Indonesia, dan sekaligus tokoh Proklamasi Ir. Sukarno pernah mengingatkan akan lebih mudah menghadapi Penjajahan secara fisik yang dilakukan secara langsung oleh bangsa lain. Tetapi akan lebih sulit menghadapi penjajahan yang bersumber dari mental bangsa sendiri yang selalu tunduk dan bergantung pada bangsa lain.

Belum ada Komentar untuk "Nasionalisme dan Negara Gagal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel