Neo-Liberalisme dan Ekonomi Indonesia

{ AHMAD YANI – Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mataram }

 Neo-Liberalisme istilah yang mengemuka dan mewarnai Isu pertarungan Politik menuju Indonesia 1 dan Indonesia 2 pada Pemilu Pilpres. Isu Neo-liberalisme dilekatkan pada Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diUsung oleh Partai Demokrat ( SBY – Budiono ). Istilah Neo-Liberalisme terus bergelinding bagaikan Bola Panas setelah Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) memutuskan untuk meminang Prof. Budiono, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia untuk mendampingi SBY sebagai Wakil Presiden. 

Terpilihnya Budiono sebagai Calon Wakil Presiden untuk Mendampingi SBY kembali menghidupkan Perseteruan Aliran Pemikiran Ekonomi di Indonesia. Budiono dengan Latar Belakang ilmu Ekonomi dan kebijakan yang diambilnya selama menjadi pejabat publik telah dituding sebagai neoliberal. Wiranto dengan segala kiprahnya menawarkan ekonomi kemandirian. Prabowo Subianto bersama perjalanan kehidupannya memasarkan ekonomi kerakyatan.


 Jika dirunut ke belakang, perseteruan pemikiran ini berakar pada paham individu versus paham kemasyarakatan atau individualis versus sosialis. Paham individualis berpijak pada kebebasan berpikir dan berbuat. Paham sosialis berpijak pada kepentingan bersama di atas kepentingan individu. Ketika masuk ke wilayah kehidupan bernegara, hal tersebut menjadi perdebatan ideologi. Dalam untaian pemikiran lebih lanjut untuk tujuan menyejahterakan, hal itu aliran pemikiran Indonesia. Apa Neo-Liberalisme itu…? 


 Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang filosof yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai penganut faham individualis dan pembela kaum industri, Smith mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu membebahi dirinya sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memperoleh keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri. 

Proses Neoliberalisme Ekonomi di topang oleh Proses Globalisasi. Saat ini, Proses Globalisasi telah terjadi hampir di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Pada tingkat Global dan Regional proses Integrasi telah menjadi laju. Tidak hanya Arus barang dan jasa, orang, uang dan Modal yang telah melintasi batas-batas negara, juga teknologi, Informasi, dan bahkan juga gagasan. Semua negara membuka diri selebar-lebarnya tidak hanya ekonomi, juga Pemikiran dan Budaya. Tiga Pilar Institusi yang menjadi Penyebar dan Pendukung setia Proses Neoliberalisme adalah International Monetary Fund ( IMF ), World Bank , dan World Trade Organization ( WTO ). 


 Ketiga lembaga tersebut disatukan dibawah satu kebijakan yang di sebut Konsensus Washington. Kebijakan tersebut disusun oleh Departemen Keuangan Amerika serikat, IMF, dan Bank Dunia sebagai dasar dari kebijakan Ekonomi Neoliberalisme yang dalam garis besarnya meliputi beberapa Program berikut : 1. Program Penghapusan Subsidi. 2. Program Liberalisasi Sektor Keuangan. 3. Program Liberalisasi Sektor Perdagangan. 4. Transfer Aset dari Sektor Publik ke Sektor Swasta ( Privatisasi ). 5. Pengurangan Peran Pemerintah di sektor Publik. Ekonomi Indonesia Hancurnya kedaulatan Ekonomi Bangsa, terpuruknya nasib Rakyat Indonesia bukanlah suatu fenomena yang datang dengan sendirinya. Masalah besar Indonesia yang senantiasa membuat Penulis bertanya-tanya kepada diri sendiri adalah Mengapa kita menjadi sebuah bangsa dengan tingkat Kemiskinan dan Pengangguran yang sangat tinggi, Kesenjangan Sosial yang semakin melebar, Utang Luar negeri yang setiap tahun selalu meningkat, dan Sumber daya Alam yang melimpah ruah, baik di darat dan dilaut tetapi kesemuanya tidak begitu berarti dalam meningkatkan kesejahteraan Rakyat…? 


 Sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk menjawabnya pertanyaan mengapa Bangsa Indonesia tetap melarat, terutama jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di Asia yang pada Dasawarsa 1950-an dan 1960-an kurang lebih memiliki tingkat perkembangan dan pertumbuhan yang sama dengan Indonesia. Jawabannya Penulis kutip dari Buku Prof. Amien Rais ( Selamatkan Indonesia ) beliau mengatakan kita menjadi bangsa yang selalu hidup melarat karena kita belum sepenuhnya bebas dari Cengkeraman Kekuatan Asing terutama di bidang Ekonomi dan juga di bidang Politik Luar negeri, Diplomasi dan Bahkan di bidang Pertanahan dan Keamanan. 

 Semakin Kokohnya Liberalisasi dan Mekanisme Pasar, dan Semakin kuatnya Pengaruh Asing dalam menentukan kebijakan-kebijakan Ekonomi Nasional kita karena ditopang dan didukung oleh mereka yang mendapat Amanah dari Rakyat sebagai Pengelola negara yang bersedia menjadi Agen atau Pelayan bagi Kepentingan Kapitalisme. Mereka-mereka para Ekonom di Republik ini yang menganut Faham bahwa Campur tangan pemerintah haruslah sekecil Mungkin dan mereka pula juga membiarkan kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh kaum Korporat Asing yang di dukung World Bank dan IMF dinamakan sebagai Kaum Neolib. 

 Kaum Neolib inilah yang selama ini memegang kendali Pengelolaan Perekonomian Nasional. Meledaknya Perdebatan tentang Neolibnya Pemerintahan SBY dan Budiono, menurut Penulis merupakan bukan suatu yang turun dari langit. Kesemuanya pasti memiliki sebab musabah sehingga kesan kaum Neolib begitu melekat kepada Personifikasi Budiono pada Khususnya dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bila kita Runut Pengelolaan Perekonomian Nasional, Campur tangan World Bank dan IMF dalam kebijakan Ekonomi Indonesia dapat ditelusuri dari Kebijakan Penghapusan Subsidi ( BBM , Lisrtik, Pupuk ), Privatisasi atau Penjualan BUMN kepada Swasta yang tak terkendali, Kebijakan Impor Beras yang sangat merugikan Petani dan Produksi beras dalam negeri, Kapitalisasi Dunia Pendidikan yang ditandai naiknya Ongkos belajar di Perguruan tinggi ( Dalam Buku Nasionalisme dan Kebangkitan Ekonomi ). 


Tidak hanya itu Penguasaan di sektor Perminyakan Nasional hampir 90 % dikuasai oleh Perusahaan Asing. Pengusaan Asing terhadap Pertambangan Nasional hampir juga mencapai 85 % ( Ekonom Hendri Saparini ). Siswono Yudhosodo juga mengemukakan hampir sekitar 46,8 % Perairan Nasional kita di Kuasai Asing. Dan Lebih dari 50 % Perbankan dan Telekomunikasi Nasional kita dikuasai oleh Asing. Selama menjabat sebagai orang yang bertanggung jawab dalam mengelola Perekonomian Nasional, Budiono kerap membuat kebijakan yang didasarkan kepada Kebijakan Konsensus Washington yang merupakan inti dari Program Neoliberalisme.


 Sebut saja Privatisasi atau Penjualan BUMN seperti Indosat, Telkom, BNI dan BUMN lainnya. Pencabutan Subsidi untuk sektor-sektor yang menyangkut kepentingan Rakyat seperti Kenaikan Harga BBM, Kenaikan TDL, Kenaikan Biaya Pendidikan yang mengikuti harga Internasional. Penyerahan pengelolaan sektor Migas seperti Blok Cepu dan Exxon kepada Perusahaan-perusahaan Asing. Kesemuanya tersebut di Motori oleh Budiono seperti yang ditulis oleh Kwik Kian Gie ( Dalam Artikelnya Indonesia Menggugat jilid II ). 



Kebijakan Neoliberalisme semakin Masif dalam Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan berbagai Undang-Undang seperti Undang-Undang Migas, Undang-Undang Penanaman Modal dan Berbagai Perjanjian Liberalisasi perdagangan yang sangat merugikan kita sebagai sebuah bangsa yang berdaulat serta Obral Aset-Aset ( BUMN ) yang kian Masif dan tak terkendali. Oleh sebab itulah, kenapa kita sebagai sebuah Bangsa yang memiliki kekayaan yang melimpah Ruah, baik di darat dan dilaut tidak tetapi tidak memiliki cukup Uang untuk memberikan Kesejahteraan Bagi Rakyatnya.

Belum ada Komentar untuk "Neo-Liberalisme dan Ekonomi Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel