Kelestarian Lingkungan di Balik Motif Ekonomi
(Tambang Pasir di Dusun Lengkok Lendang)//Sub
Menyusuri jalan menuju Dusun Lengkok Lendang Desa Tembeng
Putik dari Mamben Lauq sebenarnya kita akan mendapatkan pemandangan sawah
terhampar dan perbukitan di atasnya yang terlihat tebing-tebing yang tinggi
dengan pohon-pohon terlihat hijau menjulang di atasnya. Begitu juga ketika akan
menanjak antara perbatasan Dusun Lengkok Tengaq dengan Lengkok Lendang, di sisi
kiri-kanan jalan terdapat dua perbukitan yang dibelah oleh jalan. Pemandangan
tersebut akan membuat terkagum dan juga bergidik bagi yang pertama kali
melintasinya. Sebelah kiri tebing di atasnya ada kandang sapi kolektif yang
dikelola kumpulan peternak di dusun tersebut. Sementara di bagian kanan tebing
di atas perbukitan tersebut merupakan pekuburan umum bagi warga empat dusun
lainnya yang dekat dengan dusun lengkok lendang.
Di atas bukit di bagian kanan itu juga biasanya digunakan
para penggembala yang melepas sapi atau kambingnya merumput. Terlebih setelah
musim penghujan, rumput dan dedaunan semak-semak yang menjadi pakan ternak akan
cukup berlimpah di area tersebut. Karena perbukitan tersebut juga merupakan
bagian dari tanah pekuburan umum. Di beberapa pekuburan umum seperti biasanya
akan terlihat cukup subur sehingga para penggembala ataupun peternak kerap
mencari rumput ke area pekuburan.
Akan tetapi perubahan drastis kemudian terjadi ketika tanah
perbukitan tersebut diurug tanahnya lalu dijadikan lokasi tambang pasir.
Tanah-tanah perbukitan tersebut ketika digali, di bawahnya merupakan material
pasir. Itulah yang menjadi incaran pengelola area tersebut hingga mendatangkan
berpuluh-puluh Truk Dump untuk mengeruk tanahnya terlebih dahulu. Karena
kebutuhan tanah urug juga untuk pembangunan tak sedikit yang mencari. Bahkan
beberapa pemilik tanah yang bentuknya seperti perbukitan biasanya akan
mengundang siapa saja yang mau mengambil tanah urug asal mau membawa buruh
sendiri dan mobil pengangkut.
Setelah mulai agak datar area tambang itu pun mulai dikeruk
pasirnya menggunakan Excavator (orang Sasak menyebutnya mobil Cuat). Pasir
dikeruk, lalu disemprot dengan mesin air yang besar, untuk menghilangkan
kandungan tanah agar tidak bercampur dengan pasir. Air sungai disedot untuk
membersihkan tanah dari pasir yang dikeruk, lalu siap untuk dinaikkan ke
Truk-Truk pengangkut.
Area tambang tersebut dikelola oleh salah seorang warga dusun
Lengkok Lendang juga yang berkoordinasi dengan kepala dusun. Pak Ahkam, seorang
supir Angkutan Umum yang biasa antar- jemput ibu-ibu yang pergi ke pasar untuk
menjual kembali apa yang dibeli di Pasar di kios-kios mereka. Pak Ahkam
dipercaya oleh seorang bos besar di atasnya untuk mengawasi lokasi Tambang
pasir tersebut, dan ia juga bertugas mencatat berapa Truk masuk ke sana, juga
mencari orang yang bisa mengoperasikan Excavator dan mesin penyemprot.
Tambang tersebut sangat lancar jika diamati keluar-masuknya
Truk setiap hari ke area tersebut. Bahkan tak jarang juga banyak Truk mengantri
agar bisa masuk ke sana, baik yang mengangkut pasir ataupun tanah urug.
Kebutuhan pasir untuk pembangunan meningkat cukup signifikan ketika terjadi
gempa bumi mengguncang Lombok di tahun 2018. Akan tetapi memang tahun-tahun
sebelumnya juga kebutuhan material pasir memang cukup tinggi, hal itu
menjadikan tambang pasir tersebut cukup ramai menjadi incaran para supir Truk
pengangkut pasir.
Tambang tersebut ternyata tak berarti apa-apa bagi
masyarakat dusun Lengkok Lendang, hanya beberapa orang yang memanfaatkan area
tambang untuk mengumpulkan batu apung, itu pun cukup lama tertumpuk baru ada
yang datang membeli, per-karungnya pun sangat murah, hanya sekitar Rp. 3.500
per karung ukuran isi 25 Kg beras. Pun sangat sedikit warga yang bisa ikut
mencari penghidupan di lokasi tambang tersebut karena semuanya menggunakan
mesin. Kalau dahulu Truk-Truk pengangkut pasir di lokasi tambang pasir dekat
sungai masih dikumpulkan secara manual dengan mengeruk menggunakan ayakan
plastik, menaikkan ke Truk juga menggunakan Sekop oleh beberapa orang, atau
biasa disebut "ngerit" (buruh penyekop pasir ke bak Truk).
Selain tidak banyaknya warga yang terserap, yang bisa
bekerja di lokasi tambang pasir tersebut, lingkungan sekitar juga mulai
berubah. Debu-debu yang beterbangan dari lokasi tambang cukup menjadi polusi
yang menyebabkan rumah-rumah warga terkena juga. Begitu juga dengan pepohonan
besar yang dulunya menjadi tempat berteduh para penggembala ketika mengawasi
ternak, kini sudah tidak ada lagi. Lahan yang dulunya hijau berubah menjadi
lokasi tambang pasir yang panas dengan mesin air beroperasi cukup lama. Dataran
yang dulunya perbukitan telah berubah menjadi dataran rendah yang bisa dilalui
mobil-mobil Truk pengangkut pasir ataupun tanah.
Lokasi tersebut diratakan hampir sama tingginya dengan
sungai yang dulunya berada jauh di bawah perbukitan. Air sungai disedot
menggunakan mesin dipakai untuk menyemprot material tanah yang berpasir hingga
tersisa pasirnya saja, barulah diangkut menggunakan Excavator dimasukkan ke
bak-bak Truk. Tanah yang sudah rata dengan sungai tersebut semestinya bisa
dijadikan tempat bercocok tanam bagi warga yang secara administratif menjadi
pemilik. Akan tetapi semakin ke bawah ternyata material pasirnya semakin
banyak. Mesin Excavator pun semakin mengeruk ke dalam hingga area tersebut
membentuk kubangan-kubangan besar. Bahkan yang masih bertebing pun dilubangi
juga dan menyisakan bagian atasnya seperti payung yang bisa tempat berteduh.
Hal yang menjadi permasalahan terkait kelestarian lingkungan
yaitu ketika tanah yang dulunya hijau banyak pepohonan kini sudah membentuk
kubangan dengan kedalaman puluhan meter. Supplai udara bersih yang dulunya dari
pepohonan sudah berubah menjadi pembawa debu dari lokasi tambang pasir
tersebut. Begitu juga ketika tanah berpasir yang dikeruk, air semprotan untuk
menghilangkan kandungan tanah pada pasir dialirkan juga ke sungai sehingga
membuat air sungai menjadi keruh dan membawa material batu karang.
Sungai yang dulunya banyak dimanfaatkan warga untuk mencuci
ataupun mandi bagi anak-anak setelah keruh karena bekas semprotan tanah, kini
sudah tidak difungsikan lagi. Bahkan para pemancing yang dulunya cukup
menikmati memancing di sungai tersebut, kini sudah tidak bisa lagi menjadikan
sungai sebagai tujuan agenda memancing. Material-material tanah yang dialirkan
ke sungai menjadikan airnya tercemar, bahkan juga para penambang pasir dari
sungai langsung di dusun Telotok kini tak bisa lagi menambang pasir secara
manual. Karena air yang keruh tersebut selain membawa tanah dan material batu
apung, juga menutup endapan-endapan di sungai yang dulunya merupakan pasir
halus sebagai bahan bangunan.
Lingkungan yang tercemar dengan keruhnya air juga menjadikan
sungai semakin terbengkalai dengan banyaknya msyarakat yang tak peduli kemudian
turut andil menjadikan sungai sebagai pembuangan sampah. Ikan-ikan yang dulunya
cukup banyak kini yang terlihat hanyalah sampah berserakan. Sungai yang sudah
lama tak dijadikan sebagai bagian dari alam untuk kelestariannya, belakangan
juga muncul masalah baru yaitu abrasi di pinggir-pinggir tebingnya. Rumah-rumah
warga yang berada di atas tebing patut was-was ketika hujan deras tentu
menyebabkan air sungai meluap. Dan ketika debit air semakin deras, semakin
besar pula hantamannya ke dinding tebing.
Tak jarang juga ketika air sungai meluap menyebabkan tebing
di sebelah kanan runtuh (bahasa Sasak menyebutnya "embas"). Air
sungai yang dulunya cukup jernih dan menjadi arena favorit anak-anak untuk
mandi sepulang sekolah atau melepas penat setelah bermain, kini mungkin tak
lagi dikenal oleh anak-anak kecil yang sudah langsung berhubungan dengan
gadget. Anak-anak yang tak mengenal sungai juga tak tahu bagaimana melebur
dengan alam, menjaga kelestariannya. Puncaknya tak salah dialamatkan pada
lokasi tambang yang menjadi perusak awal air sungai hingga menjadi keruh.
Karena air keruh itulah yang membuat masyarakat tak lagi ke sungai, bahkan
menjadikan sungai sebagai pembuangan sampah. Muaranya tentu saja pada
sawah-sawah di hilir yang memanfaatkan air sungai untuk tanaman mereka.
Akibatnya tumpukan plastik dan sampah yang masuk ke areal
sawah justru juga cukup merusak tanaman di sawah. Petani jagung misalnya
selepas memupuk, lalu diairi dengan air sungai yang keruh dan banyak sampah,
tentunya tidak cukup maksimal penyerapan pupuk pada tanahnya. Belum lagi jika
kita telusuri material-material batu apung yang dibawa air sungai yang masuk ke
sawah-sawah masyarakat, potensi gagal panen bisa saja terjadi.
Tambang pasir yang tepat berada di bawah perbukitan dengan
di atasnya ada kuburan tersebut juga tak jarang menemukan kerangka
tulang-belulang yang tak sengaja terkeruk. Tanah yang dulunya hijau di atasnya
kini telah berubah menjadi gersang berdebu sampai jauh ke bawah. Mesin pengeruk
tanah yang beroperasi telah mengubah bentuk dataran di dusun Lengkok Lendang
dengan tambang pasir yang katanya untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Tetapi
kenyataannya yang untung hanya pemilik modal yang membuka lahan tersebut
sebagai tambang. Pun tak ada warga yang bisa mengoperasikan mesin Excavator,
mau "ngerit" pasir secara manual tak banyak Truk yang mau menunggu
sampai Truknya penuh diisi dengan tenaga manusia menggunakan sekop.
Dan yang cukup kentara atas perubahan tersebut adalah wajah
dusun yang semakin terselimuti debu karena tanah yang dikeruk menerbangkan debu
ke rumah-rumah warga. Begitu juga dengan sungai yang keruh dan tercemar sampah
sudah tidak bisa lagi memenuhi hajat masyarakat untuk menjadikan sungai sebagai
sumber air ataupun sekedar menanam kangkung di pinggir sungai. Tambang yang
mengabaikan kelestarian lingkungan sudah sewajarnya dievaluasi atas
beroperasinya. Siapa yang memberikan izin, dan siapa yang paling banyak
diuntungkan adalah sederet pertanyaan kritis kita melihat tambang tersebut
sebagai bagian yang cukup andil atas ketidaklestarian lingkungan di dusun
Lengkok Lendang.
f- Aktivitas Pengangkutan Tambang Pasir (Ilustrasi)
Belum ada Komentar untuk "Kelestarian Lingkungan di Balik Motif Ekonomi"
Posting Komentar